Industri di Subang, Harapan Semu Kesejahteraan Masyarakat Lokal

Sabtu, 20 Mei 2023 08:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kawasan Industri Jatengland
Iklan

Indonesia di masa pemerintahan Jokowi mendorong pembangunan dalam berbagai sektor potensial untuk meningkatkan pendapatan negara serta untuk memastikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kabupaten Subang menjadi salah satu wilayah dimana pusat industri akan berdiri sebagai basis potensial bagi pertumbuhan ekonomi negara. Namun, yang menjadi persoalan bahwa pertumbuhan industri di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Selain itu, seringkali narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait hal ini adalah pembangunan berbasis ramah lingkungan. Namun, kenyataan yang terjadi, pembangunan yang dilakukan justru menjadi penyebab terjadinya kemunduran dalam sektor lingkungan hidup.

Subang menjadi salah satu wilayah dengan basis utama pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri. Industrialisasi mampu mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat. Terbukanya lapangan pekerjaan, kesejahteraan bagi masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menjadi segelintir manfaat dari industrialisasi. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang logam, industrialisasi tidak hanya membawa kemajuan dengan jaminan kesejahteraan, namun juga membawa dampak buruk sebagai buah tangan dari prosesnya. 

Alih-alih menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, industrialisasi justru menciptakan lapisan kelas sosial baru dalam masyarakat. Modernisasi dan proyek-proyek pembangunan, yang bergantung pada modal, telah mengakselerasi sirkuit kapital dan menata ulang ruang hidup melalui eksploitasi lingkungan (Lopez, Badenoch, Choirudin, 2022). Kondisi lingkungan kerja yang buruk memicu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak, upah yang tidak layak, hingga kekerasan yang dialami para pekerja. Pembangunan di suatu kawasan telah mengalami suatu kesulitan akibat berbagai faktor seperti bentuk-bentuk tata kelola politis, ketimpangan, urbanisasi, serta kesenjangan pendapatan dan pendidikan.

Akar Mula Sebuah Permasalahan

Indonesia di masa pemerintahan Jokowi mendorong pembangunan dalam berbagai sektor potensial untuk meningkatkan pendapatan negara serta untuk memastikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kabupaten Subang menjadi salah satu wilayah dimana pusat industri akan berdiri sebagai basis potensial bagi pertumbuhan ekonomi negara. Namun, yang menjadi persoalan bahwa pertumbuhan industri di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Selain itu, seringkali narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait hal ini adalah pembangunan berbasis ramah lingkungan. Namun, kenyataan yang terjadi, pembangunan yang dilakukan justru menjadi penyebab terjadinya kemunduran dalam sektor lingkungan hidup.

Permasalahan tersebut mencakup keadaan lingkungan buruh, kondisi pemungkiman, pencemaran udara, tanah, air dan lain sebagainya. Pembangunan selalu menyebabkan perubahan dalam lingkungan, dalam jangka panjang akan menimbulkan efek samping terhadap lingkungan itu sendiri maupun terhadap masyarakat secara sosial. Efek samping negatif yang ditimbulkan dari proses tersebut secara langsung menjadi beban masyarakat, sehingga mengurangi atau bahkan meniadakan manfaat yang dapat diambil masyarakat dari pembangunan. Kebijakan seringkali dilihat sebagai sesuatu yang menyangkut urusan publik. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat menjadi kepentingan publik yang paling penting. Namun banyak kebijakan yang ternyata membuat publik bukan hanya tidak sejahtera, tetapi malah sengsara (Ardianto 2016).

Dalam proses pembangunan, seharusnya tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat sekitar. Kondisi kesejahteraan masyarakat harus menjadi pertimbangan, jangan sampai dengan adanya pembangunan justru akan menambah kesengsaraan masyarakat akibat dampak negatif yang dihasilkan dari proyek pembangunan tersebut. Sehingga yang tadinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru kenyataannya menambah beban penderitaan masyarakat.

Kesejahteraan untuk Siapa?

Bagi negara dan perusahaan, pembangunan industri dinilai sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat lokal yang dianggap tidak mampu mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya. Namun sebaliknya, bagi sebagian masyarakat lokal, keberadaan industri dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup mereka dan kerusakan terhadap lingkungan (Ardianto 2016). Hal itu kemudian terjadi di Kabupaten Subang, gedung-gedung pabrik berdiri kokoh diatas lahan seluas ratusan hektar.

Pembangunan industri di Kabupaten Subang telah menimbulkan permasalahan, dimana pembebasan lahan seringkali merugikan masyarakat. Pembebasan lahan ini nyaris selalu ditemui dalam proses pembangunan industri. Akar masalah ini kemudian muncul ketika masyarakat tidak mendapatkan haknya secara penuh atas lahan mereka yang digunakan sebagai bagian dari lahan pembangunan industri. Kapitalisme dapat mengeksploitasi buruh dan tanah, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga di mana pertimbangan ekologis hampir seluruhnya tergeser dalam dorongan untuk mengembangkan skema kekuatan industri (Eckersley, 1992).

Hal ini kemudian terjadi dan menimpa masyarakat Desa Gembor, Kec. Pagaden, Kab. Subang, Jawa Barat di lokasi tersebut berdiri bangunan PT Taifa Jaya Development. Lahan masyarakat yang dulunya difungsikan sebagai lahan pertanian saat ini terdampak oleh adanya pembangunan pabrik industri. Masyarakat di wilayah tersebut merasa dirugikan atas adanya pembangunan pabrik industri di sekitar lahan mereka. Selama tiga musim terakhir pertanian masyarakat mengalami gagal panen serta lahan mereka tidak lagi dapat ditanami oleh padi. Gagal panen tersebut diakibatkan oleh masalah perairan yang terganggu akibat pembangunan pabrik tersebut.

Negara mengimajinasikan kesejahteraan dengan adanya industrialisasi yang memicu geliat pertumbuhan ekonomi. Namun, nyatanya industrialisasi di Subang dinilai belum mampu memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat lokal. Dari keterangan yang penulis dapat dari beberapa narasumber, untuk bisa bekerja di pabrik mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang nilainya tidak sedikit. Memang tidak semuanya, namun pola seperti ini masih terus menjamur sehingga menjadi budaya buruk dalam kultur kerja masyarakat Kabupaten Subang. Dengan mekanisme seperti ini, lingkungan kerja justru hanya akan menciptakan kelas-kelas sosial baru, dimana hanya mereka yang mempunyai kapital dalam jumlah tertentu yang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Pada tahun 2023, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Subang total sebanyak 776 industri berdiri di Subang. Sebanyak 507 industri diantaranya merupakan industri kimia agro dan hasil hutan, serta sebanyak 269 merupakan industri logam, mesin, elektronika, dan aneka (BPS, 2023). Banyaknya industri nyatanya tidak menjamin akan menyerap tenaga kerja dengan jumlah banyak. Hal itu dapat dilihat dari kegiatan industri hanya mampu menyediakan lapangan kerja total sebanyak 10.163 dari total 868.132 jiwa penduduk Subang yang merupakan angakatan kerja. Hal ini menandakan banyaknya tenaga kerja yang tidak terserap oleh akumulasi kapital. Selain itu, pekerja industri di subang saat ini didominasi oleh mereka yang tinggal di luar wilayah Kabupaten Subang. Hal ini membuat sektor industri yang berdiri di wilayah Kabupaten Subang tidak mampu menjadi ladang pekerjaan bagi masyarakat Subang untuk memperoleh kesejahteraan.

Selain itu, yang menjadi masalah kebanyakan pekerja Industri di Subang adalah sistem kerja dengan gaji harian artinya jumlah upah gaji akan dibayarkan sebesar jumlah hari kerja. Kebijakan seperti ini tentu memberi peluang bagi pihak perusahaan untuk memotong besaran gaji dengan mekanisme pengurangan jam kerja. Hal ini terjadi di PT. TKG Taekwang Indonesia di Desa Karanganyar, Kec. Subang, Kab. Subang, Jawa Barat, dengan dalih mempertahankan keberlangsungan perusahaan akibat dampak krisis ekonomi global yang mengakibatkan penurunan order perusahaan, pihak perusahaan mengeluarkan kebijakan pengurangan hari kerja. Pada bulan Mei 2023 PT. TKG Taekwang Indonesia mengeluarkan kebijakan pengurangan jam kerja selama empat hari.

Hal ini tentunya berdampak terhadap besaran upah yang akan didapat oleh para pekerja. Situasi ini terjadi karena jumlah mereka semakin membengkak antara lain dengan peningkatan dan inovasi teknologi produksi yang menghemat pemakaian tenaga kerja manusia (Habibi, 2016) yang membuat pekerja industri dibayangi dengan PHK secara sepihak serta kekerasan yang terjadi dan menimpa para pekerja industri. Artinya, kapitalisme akan mengubah tanah, tenaga kerja, dan kekayaan menjadi komoditi-komoditi industri (Setiawan, 2008).

Sementara itu, situasi yang sama juga dialami masyarakat di pesisir utara Kabupaten Subang. Masyarakat Desa Patimban, Kec. Pusakanagara, Kab. Subang, Jawa Barat mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan. Hal itu karena wilayah tempat tinggal mereka berbatasan langsung dengan laut. Selain itu, perekonomian masyarakat juga berfokus pada sektor wisata Pantai Patimban, banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dengan berdagang di sekitar bibir pantai. Kehidupan ini berjalan selama puluhan tahun, masyarakat mendapat manfaat dari alam yang ada di wilayah mereka.

Namun, hal ini hanya bertahan sementara. Sejak tahun 2018 Pemerintah Indonesia berencana membangun Pelabuhan di sekitar wilayah tersebut. Pelabuhan yang dibangun di atas lahan seluas 369 Ha dan backup area mencapai 356 Ha tersebut dinilai merenggut kehidupan masyarakat sekitar. Hal itu dibuktikan dengan penutupan akses jalan umum dari Desa Patimban menuju daerah Pantai Patimban. Tentu hal tersebut telah membatasi aktivitas perekonomian masyarakat. Untuk mengetahui dengan lebih mendalam tentang apa yang terjadi dan menimpa masyarakat sekitar Patimban, pada Februari 2023 penulis melakukan wawancara langsung dengan masyarakat serta aparatur Desa Patimban.

“Kalau begini terus, lahan pertanian pada hancur,” keluh Kawir.

Kawir adalah masyarakat yang tinggal di sekitar Pelabuhan Patimban. Sebelum adanya Pelabuhan, setiap pagi harinya, ia berprofesi sebagai buruh tani, lalu pada siang hingga sore hari dirinya beralih profesi menjadi nelayan. Pagi itu saat penulis datang mengunjungi nya ia tidak bekerja seperti biasanya sebagai buruh tani, karena beberapa lahan pertanian tempat ia menggantungkan harapan tak bisa ditanami padi lagi. Kawir merasakan langsung dampak buruk yang dihasilkan pembangunan Pelabuhan Patimban. “Susah air, karena kan sumber air untuk pertanian ditutup,” jelas Kawir.

Dampak buruk juga dirasakan oleh masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, mereka juga kesulitan dalam mencari ikan karena wilayah tangkap yang terbatas. Hal itu terjadi karena zona yang direklamasi menjadi pelabuhan merupakan area tangkap ikan bagi para nelayan. Dengan mayoritas nelayan kecil, dengan armada kapal seadanya, mereka tidak bisa melaut ke area yang lebih jauh, selain karena membahayakan juga akan menambah biaya operasional.

Selain itu masyarakat sekitar juga mengeluhkan terkait minimnya kompensasi yang diberikan pihak Pelabuhan Patimban terhadap masyarakat terdampak. “Ya gatau, bagi masyarakat tidak ada kompensasi berupa apapun. Sebelumnya pihak pelabuhan pernah menjanjikan nanti setelah pelabuhan jalan buat warga yang umurnya sudah lansia, umur 60 tahun keatas, dikasih setiap bulannya 500 ribu, tapi mana nggak ada. Jadi tolonglah pihak pemerintah, pihak pelabuhan perhatikan nasib kami” Jelas Kawir.

Hal serupa juga turut disampaikan oleh Iqbal Nurfizal Selaku Aparatur Desa Patimban. Ia menjelaskan bahwa sekitar 90 % pemilik lahan dalam backup area zona yang dibebaskan untuk Pelabuhan Patimban sebenarnya bukanlah milik masyarakat patimban. “Justru orang asli patimbannya berprofesi sebagai buruhya, buruh tani, buruh tambak, buruh nelayan, ketika lahannya dibebaskan maka otomatis mereka kehilangan mata pencaharian,” jelasnya.

Solusi di Tengah Harapan Semu Kesejahteraan

Sebelumnya masyarakat telah beberapa kali melakukan audiensi dengan pihak Pelabuhan, dengan membawa tuntutan terkait memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar yang terdampak. Namun, respon yang kurang memuaskan justru diberikan pihak pelabuhan. Hal tersebut terkait kompensasi yang diberikan pihak pelabuhan hanya berupa pelatihan-pelatihan yang nantinya akan mereka adakan “Hal itu dirasa kurang bermanfaat bagi masyarakat kita” keluh Iqbal.

Pelatihan yang diberikan pihak pelabuhan itu dinilai tidak bermanfaat oleh masyarakat karena sedari awal masyarakat sekitar Desa Patimban bekerja sebagai petani dan nelayan. Peralihan sektor pekerjaan hanya akan membawa kemunduran terhadap mereka. Hal ini juga dilakukan oleh pihak pelabuhan itu sendiri dimana terbatasnya ruang bagi masyarakat sekitar untuk masuk dalam sistem tersebut. Alhasil yang bisa masyarakat lakukan adalah menunggu datangnya harapan untuk memulihkan kehidupan yang semakin sulit atas berdirinya Pelabuhan Patimban ini.

Pemerintah harus memperhatikan terkait kebijakan atas dampak yang dihasilkan industrialisasi terhadap kelestarian lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat. Analisis harus dilakukan untuk menentukan bagaimana menyelesaikan konflik pembebasan lahan akibat industri, memastikan ekosistem lingkungan tetap terjaga dari dampak buruk limbah yang dihasilkan dari proses industri, serta memperhatikan kesejahteraan masyarakat sebagai pekerja industri, upah yang layak, jaminan kesehatan, serta perlindungan hukum untuk memastikan hak-hak mereka sebagai pekerja dapat terpenuhi. Peran pemerintah daerah tersebut diperlukan untuk memastikan kebijakan diterapkan untuk mendorong integrasi yang lebih baik untuk menghindari meningkatnya kesenjangan dalam masyarakat (Olah, J.,Aburumman, N., Jozsef, P., Khan, M, A., Haddad, H., & Kitukkutha, N, 2020). 

Sistem yang saat ini berjalan tentunya harus dirubah, bagaimana membuat sistem yang tidak hanya menjawab kepentingan satu pihak tapi juga bisa menjadi jawaban atas segala persoalan tersebut. Bagaimana hal ini bisa dirubah adalah dengan keterlibatan masyarakat dalam merespon segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait kesejahteraan masyarakat. Menurut Habermas, masalah masyarakat industri maju tidak berasal dari rasionalitas instrumental itu sendiri, melainkan dari fakta bahwa rasionalitas instrumental tidak disertai atau diimbangi dengan rasionalisasi norma-norma sosial di bidang komunikasi dan kontrol sosial. Masyarakat harus melakukan intervensi politik untuk memastikan wilayah tempat tinggal mereka aman dari proyek-proyek yang berpotensi merusak alam yang mereka miliki sebagai sumber kehidupan, serta memastikan kesejahteraan mereka terjamin.

Selain itu, pemerintah harus menjamin sektor industri yang dibangun di wilayah Kabupaten Subang akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat Kabupaten Subang. Tidak hanya sebagai buruh, namun juga mendorong mereka menempati sektor-sektor potensial dalam perusahaan untuk menjamin terciptanya pertumbuhan ekonomi masyarakat Kabupaten Subang. Melihat dari jumlahnya, pekerja industri saat ini jumlahnya semakin meningkat, hal ini menandakan ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap tatanan kapitalisme (Eckersley, 1992) yang perlu diperhatikan adalah tidak semua masyarakat siap untuk peralihan bentuk pekerjaan tersebut. Pemerintah harus terus mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat di sektor lain, seperti halnya pertanian, perkebunan, perdagangan, serta pekerja informal lainnya.

Perencanaan industrialisasi tidak selalu dilihat dari kepentingan nasional, melainkan menjadi alat bagi pembangunan daerah Subang. Saat ini pola seperti itu tidak berjalan, banyak industri dibangun di wilayah Kabupaten Subang, tetapi hasil industri itu diangkut ke luar, tanpa memberikan kemungkinan untuk didirikannya industri hilir di daerah Kabupaten Subang. Dengan demikian menurut (Soemarwoto, 1983) proyek industrialisasi itu hanya menjadi semacam pulau yang modern di tengah lautan daerah yang terbelakang.

***

Pustaka

Ardianto, T, H., 2016. Mitos Tambang untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. Yogyakarta: PolGov.

BPS, 2023. Kabupaten Subang dalam Angka 2023. [online] available at: https://subangkab.bps.go.id/ [Accessed 6 Mei 2022].

Eckersley, R. (1992). Enviromentalism and Political Theory. New York: UCL Press.

Habermas, Jürgen. 1971. Toward a Rational Society: Student Protest, Science, and Politics. London: Heinemann Educational Books.

Habibi, M., 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran. 1st ed. Jakarta: Marjin Kiri.

Haekal, L., 2019. Ternarasikannya Suluh Perlawanan: Rajutan Wacana Antar Subjek ‘Tolak NYIA’. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.

Lopez., Badenoch., Choirudin., 2022. Manusia, Alam, dan Masyarakat: Kajian Multidisiplin Asia Tenggara. Yogyakarta: Insist Press dan CSEAS.

Mirian Budiardjo, 1993. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

Olah, J.,Aburumman, N., Jozsef, P., Khan, M, A., Haddad, H., & Kitukkutha, N., 2020. Impact of Industry 4.0 on Environmental Sustainability. Sustainability. doi:10.3390/su12114674

Setiawan, U., 2008. Dinamika Reforma Agraria di Indonesia Setelah Orde Baru. In: S. M. Tjondronegoro & G. Wiradi, eds. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Soemarwoto, O,. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan.

Syarif, Nuh, H, M., 2012. Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar.

Yevhen, M., Inna, K,. Viktoriia, M,. Yuliia, M,. 2018. Sustainable Regional Development Polivy Formation: Role of Industrial. Ecology and Logistics. Entrepreneurship and Sustainability Issues.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Takhfa Rayhan Fadhilah

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler